DomaiNesia
DomaiNesia

Slamet Wakhyanto : Teknologi Berlari, Karakter Tertinggal ?

opini slamet wakhyanto teknologi berlari karakter tertinggal
banner QRIS Perpus jejak Zaman

Opini Slamet Wakhyanto – Perkembangan teknologi digital saat ini begitu cepat, nyaris tanpa jeda. Generasi muda akrab dengan gawai sejak usia dini, terbiasa dengan akses instan, dan hidup dalam arus deras informasi. Namun di tengah laju teknologi yang berlari kencang, ada pertanyaan besar yang patut kita renungkan: apakah karakter generasi kita ikut melaju, atau justru tertinggal jauh di belakang?

Sebagai guru dan pemerhati pendidikan, saya menyaksikan betapa cepatnya teknologi merambah ruang kelas. Anak-anak kita begitu lincah berselancar di dunia digital, tetapi pertanyaan penting muncul: apakah kemajuan teknologi ini diiringi dengan pertumbuhan karakter yang selaras dengan tujuan pendidikan nasional? Pertanyaan ini semakin urgen ketika kita bicara tentang Kurikulum Merdeka yang menekankan pembelajaran mendalam dan delapan profil lulusan yang menjadi kompas arah pendidikan.

www.domainesia.com

Karakter: inti dari Profil Lulusan
Delapan profil lulusan yang dijabarkan dari Profil Pelajar Pancasila sesungguhnya menekankan keseimbangan antara kecakapan abad ke-21 dan karakter. Dimensi profil lulusan merupakan fokus profil lulusan yang akan dicapai yaitu keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan YME, kewargaan, kreativitas, penalaran kritis, kolaborasi, kemandirian, kesehatan, dan komunikasi. Semua dimensi ini adalah fondasi karakter yang harus berjalan seiring dengan penguasaan teknologi.

Thomas Lickona menegaskan bahwa pendidikan karakter adalah upaya sadar untuk membantu siswa “mengenal yang baik, mencintai yang baik, dan melakukan yang baik.” (Lickona, Character Matters, 2004). Jika pendidikan kita hanya menekankan literasi digital tanpa penguatan karakter, maka kemajuan teknologi justru berisiko melahirkan generasi yang cerdas secara digital tetapi rapuh secara moral.

Pembelajaran mendalam: lebih dari sekadar menguasai konten
Kurikulum Merdeka menekankan deep learning—pembelajaran yang menekankan keterkaitan pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Howard Gardner melalui gagasan Five Minds for the Future (2007) mengingatkan pentingnya ethical mind dan respectful mind sebagai dua kecerdasan yang harus tumbuh di abad digital. Siswa tidak cukup sekadar mahir mengoperasikan teknologi, mereka juga harus bijak, bertanggung jawab, dan menghargai orang lain.

UNESCO (2023) juga mengingatkan bahwa pemanfaatan teknologi di pendidikan harus berpijak pada visi humanistik: teknologi sebagai alat untuk memperkuat nilai kemanusiaan, bukan sekadar sarana transfer informasi. Tanpa visi ini, teknologi berpotensi menggerus esensi pendidikan.
Tantangan di lapangan

Sebagai guru, saya melihat ada jurang nyata. Di satu sisi, siswa cepat beradaptasi dengan aplikasi, platform daring, atau bahkan kecerdasan buatan. Di sisi lain, kasus seperti plagiarisme, ujaran kebencian di media sosial, hingga rendahnya empati dalam interaksi sehari-hari menunjukkan bahwa karakter belum tumbuh secepat teknologi. Anies Baswedan, ketika menjabat Mendikbud, pernah menegaskan bahwa “pendidikan bukan hanya tentang menguasai pengetahuan, tetapi membentuk manusia merdeka yang berkarakter.” (Kemendikbud, 2016).

Kesenjangan ini juga terlihat ketika proyek Profil Pelajar Pancasila (P5) belum sepenuhnya dimanfaatkan untuk mengintegrasikan nilai dan teknologi. Padahal, P5 bisa menjadi wahana strategis untuk mengajarkan literasi digital sekaligus nilai. Misalnya, siswa membuat kampanye digital anti-hoaks atau proyek kewirausahaan sosial berbasis teknologi lokal.

Jalan keluar: menyeimbangkan lari teknologi dengan lompatan karakter
Agar delapan profil lulusan benar-benar terwujud, maka pembelajaran mendalam perlu:
1.Mengintegrasikan teknologi dan nilai. Tugas berbasis teknologi harus selalu dikaitkan dengan dimensi karakter, seperti kejujuran, tanggung jawab, dan gotong royong.
2.Menekankan refleksi. Setiap aktivitas digital perlu diikuti refleksi: apa dampaknya bagi diri, orang lain, dan bangsa.
3.Kolaborasi orang tua, guru, dan masyarakat. Karakter bukan hanya dibentuk di kelas, tetapi di rumah dan lingkungan sosial.
4.Pembelajaran berbasis projek yang kontekstual. Projek harus menantang siswa untuk tidak hanya berpikir kritis dan kreatif, tetapi juga menunjukkan kepedulian sosial dan nasionalisme.

Teknologi memang berlari kencang. Tetapi pendidikan karakter harus menjadi kompas yang memastikan arah lari itu menuju tujuan yang benar. Dengan Kurikulum Merdeka dan pembelajaran mendalam, delapan profil lulusan bisa benar-benar diwujudkan: bukan hanya generasi cerdas digital, tetapi generasi yang berlandaskan pada dimensi keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan YME, kewargaan, kreativitas, penalaran kritis, kolaborasi, kemandirian, kesehatan, dan komunikasi. Hal ini sejalan dengan penerapan beriman, berakhlak, mandiri, kritis, kreatif, gotong royong, terbuka pada dunia, dan tetap mencintai tanah air.
Jika karakter memimpin, maka teknologi akan menjadi sahabat peradaban; jika karakter tertinggal, maka teknologi hanya akan mempercepat kehilangan arah.
(Penulis : Slamet Wakhyanto , SMAN Kelubagolit )

banner 400x130 buku murah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Math Captcha
+ 88 = 90