DomaiNesia
DomaiNesia

Perjuangan Nelayan Timor Sarjanakan Anak

Yosefina Putri Mau Bili
banner 400x130 buku murah

Keseharian sebagai nelayan selalu dimulai sebelum matahari memulai perjalannya dari timur ke barat, ada sepasang suami istri yang bersiap untuk menjemput rejeki dengan berbisik-bisik agar anak-anak mereka dapat tidur lebih lama dari mereka, lelaki tua berkulit keriput yang dengan beraninya terlebih dahulu berjalan menuju perahu kecil untuk mencari rejeki di tengah lautan hitam dengan setitik cahaya senter.

Ia selalu bertingkah seolah kegelapan adalah sahabatnya. membuka mata pada kegelapan di tengah laut adalah hal yang biasa bagi mereka, karna itu adalah satu-satunya hal yang bisa di andalkan oleh masyarakat pesisir untuk menghidupi keluarga  kecilnya. Ini bukanlah hal yang sulit untuk di lakukan karna butiran keringatnya bukan hanya untuk sesuap nasi tetapi juga untuk mengantarkan anak-anak mereka ke dunia pendidikan tinggi yang sama sekali tak pernah mereka rasakan.

www.domainesia.com

Didunia laut bukan hanya kegelapan yang di jadikan sahabat karna teriknya matahari juga ikut dijadikan sahabatnya. Meski kulitnya terbakar oleh teriknya matahari, tak ada kata menyerah dari tubuh kurus yang terbakar itu, seakan dengan tubuh kurus yang hanya bersenjatakan jaring itu menantang  gelombang dengan mempertaruhkan nyawanya demi membawa pulang hasil tangkapan yang belum pasti adanya.

Di samping perjuangan lelaki itu, selalu ada seorang wanita yang dengan senantiasa menjadi tongkat penopang keluarga kecil itu. Yang juga selalu memulai aktivitas di dalam kegelapan, menyiapkan makanan dengan penuh kasih sayang untuk keluarga kecilnya walaupun terkadang dirinya tak kebagian. Ia bukanlah seorang wanita yang menuntut kemewahan dari sang suami, bahkan ia tak berkoar-koar karena uang bulanan yang tak pasti. Ia tak pernah menenteng tas bermerek melainkan hanya ember berisikan ikan untuk di jual keliling dari kampung ke kampung untuk mendapatkan rupiah. Hobinya hanyalah memasak untuk keluarga kecilnya, tak ada kesenangan lain selain melihat anak-anaknya makan dengan lahap, bisanya hanyalah menjadikan pantai sebagai tempat favorit untuk menunggu  kepulangan sang pujaan hati, dan mintanya hanyalah sang suami pulang dengan selamat dan membawa rejeki yang cukup untuk melanjutkan kehidupan sederhana mereka, meskipun pikiran dan hatinya dijajah oleh kekhawatiran akan keselamatan sang suami hal tersebut tetap bukanlah apa-apa di bandingkan  keinginan mereka untuk membebaskan anak-anak mereka dari labirin kemiskinan, dengan menjadikan anak-anak mereka sukses.

Nelayan adalah pekerjaan yang tak ada jaminannya. cuaca, musim, dan gelombang bukanlah hal yang dapat di kendalikan, jika keadaan tak mendukung maka penghasilan keluarga pun ikut terjun bebas. Ada juga mama-mama yang ikut melaut untuk memenuhi kebutuhan  keluarganya, bahkan ada anak-anak  yang lebih memilih untuk ikut orang tuanya mencari rejeki di lautan dari pada mencari ilmu di sekolah, hal tersebut sangat di sayangkan.

Oleh Karna itu, dengan melihat kerasnya kehidupan yang di hadapi, di balik bau amis ikan dan kulit yang menghitam, lahirlah mimpi untuk menjadikan anak-anak mereka sarjana agar anak-anak mereka tidak hidup dalam lingkaran nasib yang sama. Mungkin mimpi ini terdengar sederhana bagi sebagian orang, tetapi bagi kami keluarga nelayan ini adalah mimpi yang dilukis dengan kerja keras dan pengorbanan.  Keinginan  mereka yang kuat agar anak-anak  mereka berkembang sesuai perkembangan jaman menjadikan mereka kebal akan rasa capek. Banyak nelayan yang memprioritaskan pendidikan anaknya sehingga  tak pernah ada kata tidak untuk kebutuhan pendidikan sang anak, dan Tak pernah ada kata lelah yang di lontarkan sebagai pelepas beban, melainkan senyuman yang di berikan jika di tanya kondisinya.

Data dari UNESCO dalam laporan Education for All 2000-2015: Achievements and Challenges  menyebutkan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga miskin di wilayah pesisir dan terpencil menghadapi hambatan besar dalam menyelesaikan pendidikan  dasar hingga menengah. Di banyak Negara seperti Indonesia, komunitas nelayan termasuk dalam kelompok yang paling rentan mengalami putus sekolah akibat terbatasnya  akses, ekonomi, dan dukungan sosial. Pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan, siapa yang akan disalahkan jika anak-anak dari daerah pesisir tertinggal jauh? Ketertinggalan bukan berarti kami tidak mampu untuk belajar, kami sangat mampu hanya saja keadaan berkata lain yang membuat kami menjadi kurang. Buktinya ada banyak putra putri dari pesisir timur Indonesia yang berhasil meraih gelar dengan menjadikan ombak sebagai jalan untuk mencapai gelar sarjana, dan menjadikan dukungan keluarga dan masyarakat setempat sebagai pegangan.

Kami tak berlebihan dalam meminta, hanya sedikit harapan yang dapat kami utarakan yaitu adanya perhatian yang sedikit lebih banyak dan jalan bagi kami anak-anak pesisir untuk mendapatkan pendidikan yang baik, dan juga adanya perhatian terhadap anak-anak berprestasi dan berbakat untuk mengembangkan kemampuan mereka. Harapan ini memiliki tujuan yaitu agar mereka hidup dalam proporsinya masing-masing terutama bagi anak-anak yang tak harus melaut melainkan menikmati masa-masa bahagianya dengan belajar dan bermain selayaknya anak pada umumnya.

Meskipun kami melihat dan menyadari kenyataan akan adanya kesulitan itu, kami tetaplah hanya putra putri dari pesisir timur Indonesia yang hidup berdampingan dengan keterbatasan tetapi memiliki mimpi yang tinggi. Karena keterbatasan itu tidaklah sebanding dengan capeknya  menarik jala di tengah laut dengan perahu yang terombang-ambing.

Dengan menyaksikan langsung perjuangan orang tua kami yang bertempur dengan jeleknya nasib dan  kerasnya kehidupan, semangat menjadi sarjanapun semakin membara dengan harapan dapat mengubah kehidupan sulit ini menjadi lebih baik. Karena bukan hanya orang-orang kota yang mampu, kami anak-anak pesisir juga memiliki mimpi, keinginan, dan kemampuan yang menjadikan kami pantas untuk sukses

Dukungan dari orang-orang sekitar juga sangat di butuhkan karena akan lebih mudah jalannya jika semuanya saling merangkul . Tak ada dan tak akan ada kata iri karena menjadi sarjana bukan hanya untuk membuktikan pencapaian pribadi, tetapi juga menjadi simbol akan adanya harapan agar masyarakat dapat keluar dari kemiskinan. Tetaplah hidup dengan saling membantu dan saling berpegang karena tak akan ada yang sulit jika di kerjakan dan selesaikan secara gotong royong.

Terima kasih untuk mereka yang sedang berjuang demi memberikan hidup yang layak untuk anak-anak mereka, dan juga untuk para anak-anak nelayan yang sedang ikut bertempur melawan hambatan dan rintangan dalam perjalanan menuju cita-cita. Semoga semua harapan dapat terkabul, apa yang sedang diusahan bisa didapat, dan apa yang menjadi cita-cita dapat tercapai, agar semua usaha dan pengorbanan yang diberikan oleh para orang tua bisa mencapai ujung perjalanan yang memuaskan. Karena dengan kesuksesan itulah kita dapat mengubah kehidupan kita menjadi lebih baik dimana tak perlu ada yang harus terus-terusan menantang gelombang yang menggulung tanpa henti, berkeliling dari kampung ke kampung,  dan meminum asinnya air laut hanya untuk mendapat rupiah.
Penulis: Yosefina Putri Mau Bili

banner 400x130 buku murah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *